Rabu, 06 Juli 2011

Tayuban

Tayuban, sebagai buah tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Blora telah mengalami pasang-surut apresiasi. Awalnya adalah seni gambyong istana bernilai tinggi. Berkembang menjadi seni gambyong di luar istana, lantas terdegradasi menjadi seni rakyat berkualitas rendah, mesum, bertendensi prostitusi. Sampai tiba saatnya ditingkatkan menjadi kesenian tari pergaulan, namun belakangan terancam turun martabat lagi menjadi ajang ribut dan mabuk-mabukan.
Etimologi Tayuban
Ahli filologi dan folklor humanis dari Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (alm.) dalam Tradisi dari Blora (1996) menyoroti etimologi kata "tayuban" dalam dua pengertian. Pertama, berdasarkan kata dasarnya, "tayub", yang dalam tradisi lisan dikiratabahasakan menjadi "ditata cik ben guyub" (diatur agar menjadi kerukunan orang). Pemberian makna semacam ini tampak misalnya dalam naskah Tayuban: Kesenian Tradisional Khas Daerah Kabupaten Blora (tanpa tahun), susunan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Blora, Seksi Kebudayaan. Kedua, kalau merujuk pada makna kata "tayub" dalam kamus, etimologi rakyat semacam itu tentu bertolak belakang. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Suripan menemukan makna "tayub" adalah "kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek" (bersuka ria menari bersama tledek atau wanita penghibur). Namun, di antara perbedaan makna itu Suripan menyimpulkan satu hal yang sama, yakni keduanya mempunyai indikasi pada pengertian tari. Kalau ada dugaan bahwa kata "tayub" ada kaitannya dengan "nayub", kata "nayub" yang bermakna "menari-nari" terdapat pada Kekawin Bharata Yuddha karya Mpu Seddhah dan Mpu Panuluh, tahun 1079 Syaka atau tahun 1157 M. Pada pupuh XIII bait ke-8 terdapat keterangan tentang para pandawa yang, oleh Prof Dr. R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968)
diterjemahkan "menari-nari dan bergembira dengan riuhnya". Kesimpulan yang hampir sama, bahkan ditambahi unsur minuman, diterangkan dalam Kamus Kawi - Jawa susunan Winter dan Ranggawarsita (1987). Di sini, kata "nayub" diberi makna "nayub, ngombe, sukan-sukan", minum minuman keras. Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 - 1954), lewat lema "Nayub, Nayuban" membantah bahwa "nayub" berasal dari kata "tayub",
melainkan dari kata "sayub" yang memiliki arti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras. Apa pun perbedaan yang mendasari,tayuban, dalam perkembangannya kemudian memang terdiri atas dua unsur dominan: tarian dan minuman (keras). Bahwa tayuban bermetamorfosa dari seni tari-tarian biasa menjadi tari beraroma minuman keras, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati (1989), karena proses perkembangannya. Tayuban
lama-kelamaan keluar dari lingkaran pusat pemerintahan semacam keraton,
menjadi kesenian rakyat. Di lingkungan rakyat, tari ini tidak lagi terjaga dan tidak dapat menunjukkan keutamaan, melainkan menjadi seni rakyat yang bersifat kasar, rendah, dan sepele. Pada seni rakyat yang lebih lebih rendah lagi, tayuban sedikit berubah, menjadi kesenian yang disebut janggrungan. Dalam janggrungan, tulis Suripan, penari dan penyanyi tayuban berkeliling mencari penanggap demi nafkah. Di kebun tebu saat musim panen atau di tepi hutan jati di antara para blandhong (penebang kayu). Dalam tingkatan inilah, tayuban menjadi berkonotasi mesum, menjadi bentuk lain dari prostitusi. Celakanya, beberapa kesenian lain yang juga merambah ke kalangan rakyat
terjebak pada bentuk serupa. Gambyongan, ronggeng, ledek, dan tandak,misalnya, dalam suatu periode identik dengan perbuatan amoral bahkan pelacuran.
Minuman dan Suwelan dalam TAYUBAN
Sebuah gambaran di desa terpencil di antara sawah, ladang, dan hutan jati, sekitar
8 km di utara jalan raya Blora - Cepu, Jawa Tengah, sedang menghelat acara sedekah desa. Itu pertanda berakhirnya masa panen padi. Melihat kemeriahannya, sampai didatangi warga dari lain desa, bisalah disimpulkan bahwa panen kali itu terbilang berhasil. Bagi mereka yang berduyun-duyun datang, keberhasilan panen secara ekonomis tak terlalu dipersoalkan. Tayuban, tari sederhana disertai tetembangan diiringi gamelan, harus tetap meriah. Anak-anak dan perempuan merubung, sementara remaja dan laki-laki dewasa bergantian mengalungkan selendang dan menari. Ada pula balita dalam gendongan ayahnya yang ikut menari, yang secara tradisional dipahami sebagai cara memohon berkat lewat gendhing alias lagu yang dipesan. Tiga perempuan bersanggul dan berkemben, berias muka seperti umumnya bintang panggung, menyanyi bergoyang dalam iringan gamelan yang ditabuh oleh sekelompok wiyaga. Ada lagu yang masuk dalam daftar untuk disajikan, ada pula lagu yang dinyanyikan berdasarkan permintaan. Prosedur permintaan, yang kalau di kafe atau klub malam disebut request, itu cukup unik. Si pemesan, entah perseorangan atau kelompok, wajib membayar ongkos mengubah daftar lagu alias melakukan walik gendhing. Uang dengan berbagai nominal, rata-rata berkisar Rp 1.000,- hingga Rp 10.000,-, dimasukkan ke dalam bejana di depan formasi gamelan. Para laki-laki yang menari bergiliran diatur oleh seorang pria yang berfungsi sebagai pengarih atau pramugari. Mereka menari dalam aneka ekspresi. Keasyikan bertambah dengan beredarnya arak putih tradisional, bir, dan aneka minuman dalam gelas-gelas kecil. Para pemuda dan laki-laki dewasa duduk dalam beberapa kelompok sambil minum di seputar penjaja minuman maupun makanan di luar arena tari, sementara di dalam arena mereka bergantian menerima uluran sloki-sloki berisi minuman keras dari penari tayub. Minuman habis dalam satu tenggakan, kemudian si laki-laki mengeluarkan uang kertas dari sakunya, lantas diselipkan di kemben penari. Itulah suwelan, ongkos ekstra yang diterima penari-penyanyi tayub, yang jumlahnya kadang lebih besar daripada honor dari pihak yang mengundangnya. Ada laki-laki yang bersemangat menari, ada yang sibuk menempelkan badan kepada sang primadona. Ada yang mengejap-kejapkan mata tanpa peduli muka sudah merah dan berminyak, ada pula yang terhuyung-huyung. Yang terkapar di luar arena jangan ditanya. Ada yang sampai muntah segala. Padahal saat itu matahari bersinar terik, dan arena di bawah pohon kihujan raksasa cuma sebagian yang diberi atap. Satu babak tayuban berakhir menjelang sore hari. Babak berikutnya dilanjutkan malam harinya. Begitulah biasanya. Satu paket tayuban berlangsung siang dan malam.
Kemakmuran bagi pelaku seni
Di masa Orde Baru, tayuban dipupuk menjadi simbol kesenian daerah. Konotasi mesumnya dihilangkan, dikemas menjadi tari pergaulan. Ada pembinaan di tingkat dinas Kabupaten, dan tayub pun menjadi lahan profesi. Menurut Drs. H. Handono Mulyo, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Diknas Kab.Blora "Ada sekitar 1.000 penari tayub yang terdaftar yang berada di antara sekitar 6.000 pelaku aneka jenis kesenian yang masuk dalam wilayah binaan kami." Pembinaan meliputi penataran, upaya peningkatan kualitas, pengaturan, dan perizinan. "Ada potongan yang diminta dari setiap honorarium penari tayub, dan itu kami gunakan untuk menutupi kekurangan biaya seperti honor bagi mereka yang belum diangkat menjadi pegawai negeri, para pembina tingkat kecamatan, dan macam-macam lagiKebetulan, suasana kesenian di wilayah itu marak dalam beberapa tahun belakangan. Tayub berkembang beriringan dengan aneka kesenian lain seperti campursari dan musik dangdut. Ini memberi kehidupan bagi para pekerja seni. Seorang penari tayub, misalnya, dalam sekali tanggapan siang dan malam menerima honor antara Rp. 300.000,- - 500.000,-. Bagi penari senior, angkanya bisa 1,5 sampai dua kali lipat. Itu jelas jumlah bersih di luar tips dan suwelan. Setiap naik panggung, penari tayub didampingi pengguyub yang jumlahnya antara satu dan empat orang. Mereka punya honor tersendiri dan menerima suwelan pula. .Kemakmuran rata-rata penari tayub memang terasa. Badan dan wajah terawat, dandanan standar kota besar, dan ketika naik panggung pun melengkapi diri dengan bahan rias dan aksesori pakaian yang cukup berkelas, rata-rata penari tayub punya mobil Penari tayub menjadi sentral dari kelompok pertunjukan yang terdiri atas belasan orang. Tarif penyelenggaraan saat ini bisa mencapai Rp. 2.000.000,- untuk 11 - 14 orang penabuh gamelan atau wiyaga,sinden, serta biaya generator untuk listrik bagi tata lampu dan tata suara. Dari proses apakah seorang penari tayub "dilahirkan"? Seorang penari tayub menyatakan, ia bisa karena belajar sendiri. "Dari kecil saya sudah mengenal dunia ini, terus ama-lama mengikuti dan bisa. Pasti, dunia tayub tak sesimpel yang dikemukakannya. Jelas melalui proses yang cukup panjang untuk bisa punya nama, hapal ratusan lagu dan cara melantunkannya, juga punya fisik yang prima untuk terus bekerja.
Ribut itu biasa
Tak semua tayuban berlangsung vulgar dan liar. Di kawasan yang rasa keagamaannya dominan, penari tayub mengenakan kebaya dan tidak ada uang suwelan di dalam kemben. Mereka yang meminta selendang diatur melalui pendaftaran, dan ketika menari pun melepas alas kaki. Namun agaknya ciri utama tak bisa dihilangkan. Minuman keras, walau beredar di kejauhan, umumnya tetap ada. Ihwal aroma minuman keras yang semerbak di setiap tayuban, tak lepas dari kebiasaan dan melekat secara historis. Bagi penari tayub pun hal itu dianggap biasa, Pemabuk yang bertindak lepas kontrol dianggap bagian dari profesinya. Keributan sebagai akibat mabuk, juga biasa. Tapi keributan dalam tayuban tidak pernah membesar sampai jadi tawuran. Berbeda misalnya dengan pergelaran orkes dangdut atau campursari. Tayuban memang bukan semata-mata pertunjukan musik yang memisahkan pemain dengan penontonnya. Penari, penyanyi, dan penabuh gamelan adalah pusat dari acara itu sendiri. Di situlah kendali terjadi, menciptakan keasyikan tersendiri tanpa harus ribut atau berkelahi.Semoga Tayuban bisa berjalan di atas rel yang benar dan bisa menjadi salah satu ikon kesenian di Kabupaten Blora.
Dikutip berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar